PenjuruNegeri.Com – MERANGIN – Ketika sebuah bangunan pemerintah runtuh sebelum sempat berfungsi, maka yang ambruk bukan hanya beton dan dinding—tetapi juga wibawa birokrasi dan kepercayaan publik. Inilah tragedi yang melingkupi Gedung Serbaguna atau Tourism Information Center (TIC) milik Dinas Pariwisata, Pemuda dan Olahraga (Disparpora) Kabupaten Merangin, yang ambruk pada Senin malam, 24 Juni 2025, pukul 19.28 WIB.
Bangunan bernilai Rp 1,8 miliar itu runtuh bahkan sebelum pernah digunakan secara fungsional. Dan kini, ia menjadi simbol konkret dari runtuhnya perencanaan, pengawasan, serta etika tata kelola aset publik.
Mengapa bangunan megah itu bisa luluh lantak sebelum difungsikan? Jawabannya tragis: pengabaian sistematis dan pembiaran birokratis.
Sejak diserahterimakan kepada Disparpora pada 2021, bangunan itu tak pernah digunakan, tak dipelihara, bahkan tak diawasi secara teknis. Plafon dibiarkan retak, kaca pecah tak diganti, toilet rusak, hingga dinding lembab oleh rembesan air.
“Saya sudah dua kali datang ke sana untuk urus izin sewa, tapi kondisi dalamnya gelap, jorok, seperti gedung tak bertuan,” ujar Sinta, salah satu warga Bangko.
Ironisnya, meskipun tidak layak fungsi, gedung ini pernah disewakan dengan tarif berkali lipat dari ketentuan Perda. Ditemukan bahwa tarif sewa berkisar Rp 1,4 juta hingga Rp 2,4 juta per hari, jauh di atas ketentuan maksimal Perda yaitu Rp 600 ribu.
“Ini jelas pelanggaran. Selisih retribusi itu harus dipertanggungjawabkan. Jangan sampai uang masyarakat justru masuk ke kantong pribadi,” kata Andri Sudirman, salah satu anggota LSM di Merangin.
Tragedi TIC bukanlah insiden tunggal. Laporan BPK tahun 2024 sudah memperingatkan adanya Rp 743 juta kelebihan pembayaran dan ketidaksesuaian volume pekerjaan pada proyek-proyek di bawah Dinas PUPR Merangin.
Pengawasan lemah, beberapa jabatan teknis kosong, dan pengangkatan berbasis non-profesionalisme jadi benang merahnya.
“Salah satu PPTK waktu itu bukan dari bidang teknis. Wajar kalau hasilnya amburadul,” ungkap sumber internal Pemkab yang enggan disebutkan namanya.
TIC Merangin adalah simbol dari kegagalan moral birokrasi. Di balik runtuhnya bangunan itu adalah keruntuhan lebih besar: etos pelayanan publik yang tidak hidup, dan mental pengelola yang abai.
Tidak ada papan peringatan di lokasi. Tidak ada upaya perawatan. Bahkan saat mulai retak, tidak ada respon teknis. Hingga akhirnya, ambruk menjadi puing-puing diam yang kini “berbicara” lebih keras dari pidato mana pun.
“Jangan hanya menyalahkan bangunannya. Salahkan juga sistem yang membiarkannya rusak tanpa intervensi,” ujar salah satu dosen teknik sipil di Jambi.
Peristiwa ini harus menjadi momentum perubahan. Tidak cukup dengan sekadar “klarifikasi” atau kunjungan lapangan seremonial. Yang dibutuhkan adalah langkah konkret: seperti Audit forensik independen terhadap seluruh proyek aset publik di Merangin. Pengembalian dana retribusi ilegal ke kas daerah, disertai proses hukum bila ditemukan pelanggaran. Reformasi pengangkatan jabatan teknis, dengan menempatkan profesional, bukan politisi atau “titipan.” Dan Pembentukan forum pengawasan publik, agar masyarakat punya akses untuk ikut memantau aset dan APBD secara partisipatif.

Tinggalkan Balasan