PenjuruNegeri.Com – JAMBI — Langit di Kota Jambi tiba-tiba meredup lebih cepat. Di balik deru kendaraan dan gemuruh suara mahasiswa, gas air mata melayang di udara. Aksi damai yang mereka bawa mendadak pecah menjadi bentrokan saat aparat dan massa saling dorong di kawasan pusat kota, pada kamis (26/6/2025).

Sejak awal, para mahasiswa hanya membawa poster dan orasi. Mereka menuntut transparansi anggaran pendidikan dan perbaikan tata kelola pemerintah daerah. Namun, ketegangan memuncak ketika barisan demonstran berusaha mendekati gerbang kantor gubernur provinsi Jambi. Dalam hitungan menit, suasana berganti panas — teriakan bercampur sirene dan letusan gas air mata memaksa mereka mundur.

Seorang mahasiswa berusia 21 tahun, yang enggan disebutkan namanya, terlihat tergopoh-gopoh dengan mata memerah. “Kami datang baik-baik. Kami hanya ingin suara kami didengar,” katanya parau, berusaha menahan perih di mata dan di dada.

Di sisi lain, pihak kepolisian menyatakan bahwa pembubaran terpaksa dilakukan demi ketertiban. Hingga berita ini ditulis, Polda Jambi belum memberikan pernyataan resmi mengenai jumlah korban dan kronologi pasti bentrokan. Akun media sosial mereka pun sepi pembaruan, membuat publik hanya bisa menebak dan menanti kejelasan.

Sejumlah mahasiswa yang terluka segera dilarikan ke RSUD Raden Mattaher. Namun, pihak rumah sakit hingga saat ini enggan membeberkan data pasien. Pihak kampus dan Pemerintah Provinsi juga memilih bungkam, menimbulkan spekulasi bahwa komunikasi antar institusi sedang tertatih-tatih di tengah situasi panas.

Bentrokan hari ini meninggalkan jejak luka — bukan hanya di tubuh para mahasiswa, tetapi juga di wajah demokrasi. Sebab, di balik asap dan perisai, ada pesan mendesak yang hingga kini belum dijawab: bahwa aspirasi mereka adalah bagian sah dari demokrasi, dan bahwa mereka berhak didengar, bukan sekadar dihalau.

Kini, mata masyarakat tertuju ke aparat, kampus, dan pemerintah daerah. Publik menanti langkah konkret dan pernyataan terbuka agar peristiwa ini tidak hanya berakhir sebagai riuh di jalanan, tetapi menjadi pengingat bahwa dialog harus tetap terbuka — di ruang mana pun, dan dalam situasi apapun.