Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) adalah surga terakhir Sumatra. Dengan hamparan hutan lebatnya, mata air jernihnya, dan keanekaragaman hayati yang begitu kaya, kawasan ini seharusnya menjadi kebanggaan sekaligus warisan untuk anak-cucu kita. Namun, di balik keindahan itu, luka dalam menganga kian dalam. Ketamakan dan kepentingan sesaat membuat kawasan konservasi ini berdarah-darah. Semua karena satu kata: emas.

Penambangan emas ilegal yang merajalela di dalam kawasan TNKS bukan sekadar soal kerusakan lingkungan, melainkan kejahatan terhadap masa depan. Pohon-pohon berusia ratusan tahun tumbang, sungai-sungai keruh bercampur merkuri, dan habitat satwa langka seperti harimau Sumatra, gajah, hingga tapir, terus terdesak dan terancam punah. Dalam diamnya hutan, gergaji mesin dan mesin penyedot lumpur menggantikan nyanyian burung dan derap langkah satwa liar.

Dampaknya bukan hanya di dalam kawasan. Masyarakat sekitar ikut menanggung bencana jangka panjang: air tercemar, tanah rusak, dan sumber penghidupan berkelanjutan lenyap. Jika terus dibiarkan, bencana ekologis ini akan meluas hingga melampaui generasi kita dan melahirkan krisis baru di kemudian hari.

Kita perlu bercermin dan bertindak sekarang. Pemerintah harus memperkuat pengawasan dan penegakan hukum, memberi hukuman setimpal, dan menutup jalur penambangan emas ilegal hingga ke akarnya. Sementara itu, masyarakat dan lembaga-lembaga konservasi harus lebih berani bersuara dan bergotong-royong untuk menjaga keajaiban TNKS tetap hidup.

Karena jika kita hanya berdiam, Taman Nasional Kerinci Seblat hanya akan tersisa sebagai kisah — kisah sebuah surga yang hancur demi kilauan emas semu. Hari ini, lebih dari kapan pun, kita harus melawan, agar hutan tetap bernyanyi dan anak-anak kita bisa mengenali alam sebagai anugerah, bukan sebagai luka.