PenjuruNegeri.Com – KOTA JAMBI Suasana panas meledak di Kelurahan Aur Kenali, Kota Jambi, sabtu (13/9). Ratusan warga turun ke jalan, memblokir Jalan Lintas Timur Sumatera, jalur vital yang menghubungkan Jambi dengan provinsi tetangga. Aksi ini dipicu oleh penolakan keras warga terhadap proyek stockpile dan jalan angkutan batubara PT Sinar Anugrah Sentosa (PT SAS) yang berdiri di dekat pemukiman mereka.

Kami tidak ingin anak-anak kami tumbuh dengan napas sesak karena debu batubara, atau rumah kami tenggelam karena rawa ditimbun untuk jalan!” teriak salah satu warga di tengah massa yang membentangkan spanduk penolakan.

Aksi yang Melumpuhkan Kota

Pemblokiran dimulai sejak pagi. Truk dan mobil pribadi terjebak berjam-jam, dipaksa memutar balik karena jalan ditutup total oleh massa aksi. Polisi akhirnya mengalihkan arus kendaraan ke jalur alternatif, namun lumpuhnya Jalintim tetap menimbulkan keresahan luas

Tuntutan warga sederhana namun tegas: Gubernur Jambi harus turun langsung menemui masyarakat dan memberikan kejelasan.

Proyek yang Sarat Kontroversi

Proyek stockpile batubara ini sejak awal menuai penolakan. Warga menilai keberadaannya:

  • Tidak sesuai dengan RTRW Kota Jambi 2024–2044. Hal ini bahkan diakui oleh Wali Kota Jambi, Maulana.
  • Mengancam fungsi rawa sebagai daerah resapan air, meningkatkan risiko banjir besar.
  • Menimbulkan polusi debu dan asap yang membahayakan kesehatan, terutama anak-anak dan lansia.
  • Mengundang truk-truk berat yang berpotensi menimbulkan kecelakaan di kawasan padat penduduk.

Ini perampasan ruang hidup!” tegas seorang aktivis lingkungan Jambi.

Suara Perusahaan dan Pemerintah

PT SAS tak tinggal diam. Mereka mengklaim sudah mengantongi izin berupa PKKPR dari Kementerian ATR/BPN serta dokumen Amdal yang disetujui pemerintah provinsi.

Namun, Pemkot Jambi menegaskan tidak pernah mengeluarkan izin terkait stockpile ini. DPRD pun menyebut adanya kejanggalan dalam proses sosialisasi yang dianggap tak menyentuh seluruh warga

Belum Ada Keputusan Tegas

Hingga kini, belum ada langkah konkret berupa penyegelan atau penghentian resmi dari pemerintah. Aktivitas di lapangan bahkan masih terlihat, meski warga menuding sudah ada larangan sebelumnya.

Situasi ini membuat warga semakin frustrasi. “Kalau negara diam, kami yang akan menjaga tanah dan udara kami sendiri!” ujar seorang ibu rumah tangga yang ikut blokade.

Kisruh ini menjadi cermin peliknya tata kelola batubara di Jambi: tarik ulur kepentingan ekonomi, aturan tata ruang yang tumpang tindih, dan hak hidup masyarakat yang terancam.

Pertanyaannya kini: Apakah pemerintah akan berpihak pada rakyat kecil yang mempertaruhkan kesehatan dan keselamatan, atau pada investasi yang menjanjikan keuntungan besar?

Sementara jawaban belum datang, jalan nasional tetap menjadi arena perlawanan warga.