PenjuruNegeri.Com – Jakarta Isu pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka memicu gejolak baru di internal para purnawirawan TNI. Forum Purnawirawan TNI yang sebelumnya menyuarakan desakan pemakzulan kini mendapat respons keras dari kelompok purnawirawan lainnya yang justru menolak ide tersebut.

Surat usulan pemakzulan yang dikirim oleh Forum Purnawirawan ke DPR dan MPR pada Mei lalu kini mendapat tandingan. Kelompok purnawirawan tandingan ini menganggap gerakan pemakzulan tidak mewakili suara mayoritas prajurit TNI yang telah purnawira.

“Gerakan ini berpotensi mencederai netralitas TNI dan hanya akan membuat gaduh politik nasional,” ujar Mayjen TNI (Purn) Komaruddin Simanjuntak dalam pernyataan persnya, Selasa (1/7).

Surat pertama dikirim oleh Forum Purnawirawan Prajurit TNI pada akhir Mei, ditandatangani sejumlah tokoh senior seperti Jenderal (Purn) Fachrul Razi, Laksamana (Purn) Slamet Soebijanto, dan Jenderal (Purn) Tyasno Sudarto. Mereka menduga proses pencalonan Gibran cacat etik dan hukum karena dinilai melibatkan intervensi Mahkamah Konstitusi.

Surat tandingan, sebagaimana dikonfirmasi sumber internal MPR, baru diterima Senin (1/7) dari kelompok purnawirawan yang menyatakan keberatan atas upaya pemakzulan. Mereka menilai hasil Pilpres 2024 sudah sah dan pemakzulan justru mengganggu stabilitas pemerintahan baru.

Pakar hukum tata negara dari UGM, Dr. Yance Arizona, mengatakan bahwa meskipun pemakzulan dimungkinkan dalam konstitusi, prosesnya sangat ketat dan panjang.

“Pemakzulan harus diawali dari DPR dengan bukti pelanggaran serius. Lalu diserahkan ke MK, dan terakhir diputuskan MPR. Ini bukan sekadar wacana politis, tapi soal konstitusionalitas,” jelasnya.

Senada, mantan Ketua MK Prof. Mahfud MD mengingatkan bahwa ketentuan pemakzulan diatur dalam Pasal 7A dan 7B UUD 1945, yang mensyaratkan keterlibatan semua lembaga tinggi negara.

Isu ini memecah opini publik dan elite nasional: Luhut Binsar Pandjaitan menyebut gerakan pemakzulan sebagai “ribut kampungan” dan mengingatkan akan bahaya politik balas dendam. Sebaliknya, Roy Suryo mendukung langkah Forum Purnawirawan, menyebut wacana ini penting demi menjaga marwah konstitusi. Burhanuddin Muhtadi, Direktur Eksekutif Indikator Politik, melihat ini sebagai “simbol tekanan politik” yang kemungkinan besar tak akan berujung ke sidang MPR.