PenjuruNegeri.Com – Kerinci — Ancaman serius terus menimpa kawasan konservasi Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Data terbaru menunjukkan aktivitas perambahan hutan di kaki Gunung Kerinci terus melonjak tajam dalam beberapa tahun terakhir.
Menurut laporan pemantauan satelit Global Forest Watch dan Planet Labs, TNKS telah kehilangan lebih dari 55 ribu hektar hutan primer sejak 2002, dengan laju kerusakan semakin cepat dalam enam tahun terakhir. Rata-rata sekitar 9 ribu hektar hutan hilang tiap tahunnya.
“Kami memantau pembukaan lahan baru hampir tiap bulan, terutama di lereng-lereng bawah Gunung Kerinci yang mudah diakses,” ujar salah satu peneliti konservasi.
Pergeseran ekonomi lokal disebut menjadi pemicu utama perambahan. Lahan pertanian kentang yang menggiurkan secara ekonomi kini banyak merambah masuk ke zona inti TNKS. Selain itu, aktivitas tambang emas ilegal dan pembalakan liar juga kian masif.
“Ada pembukaan ladang kentang di tengah kawasan konservasi, bahkan beberapa titik tambang emas sudah masuk ke wilayah hulu sungai,” kata seorang aktivis lingkungan.
Kondisi ini dinilai sangat mengkhawatirkan karena TNKS merupakan habitat utama bagi satwa langka, seperti harimau sumatra, gajah sumatra, hingga berbagai jenis burung endemik.
Perusakan hutan di kawasan lereng ini dikhawatirkan memicu bencana ekologis dalam waktu dekat. Longsor, banjir, dan krisis air bersih berpotensi mengancam pemukiman warga.
“Kalau ini terus dibiarkan, banjir bandang bisa datang sewaktu-waktu. Sungai-sungai kita sudah mulai keruh akibat sedimentasi,” ungkap seorang warga Kayu Aro.
Meski Balai Besar TNKS dan aparat gabungan TNI/Polri sudah melakukan patroli berkala, namun penegakan hukum terhadap perambah hutan dinilai belum optimal. Beberapa kasus bahkan tersendat akibat adanya dugaan keterlibatan oknum-oknum tertentu.
“Masih banyak pelaku besar yang sulit disentuh hukum. Penegakan hukum harus lebih tegas dan transparan,” ujar seorang sumber dari lembaga advokasi lingkungan.
Kini, harapan baru muncul melalui teknologi pemantauan satelit canggih seperti OPERA DIST-ALERT milik NASA dan ESA, yang mampu memantau degradasi hutan secara real-time.
Pakar konservasi mendorong agar pemerintah mengintegrasikan teknologi ini dengan patroli lapangan dan program ekonomi alternatif bagi masyarakat, agar upaya penyelamatan TNKS bisa lebih efektif.
“TNKS adalah paru-paru Sumatra. Jika kita gagal menjaganya, kita juga yang akan merasakan dampaknya,” (red)

Tinggalkan Balasan