PenjuruNegeri.Com – Dalam beberapa dekade terakhir, pendakian gunung telah berubah dari aktivitas spiritual yang tenang menjadi salah satu kegiatan rekreasi paling populer. Namun, perubahan zaman ini turut membawa pergeseran dalam cara para pendaki memperlakukan dan menghargai alam. Artikel ini mencoba mengulas perbedaan sikap pendaki zaman dulu dan sekarang, khususnya dalam aspek pelestarian dan penghormatan terhadap alam.

Pendaki gunung hendaknya memandang gunung sebagai tempat sakral. mendekati alam dengan penuh takzim. Salah satu tokoh pendakian legendaris Indonesia “Norman Edwin” jurnalis sekaligus pendaki yang hilang di Aconcagua tahun 1992, menjadi simbol dari semangat pendaki yang menjunjung tinggi kesadaran ekologi. Dalam salah satu tulisannya ia mengungkapkan:

“Naik gunung adalah dialog batin dengan alam, bukan perlombaan menaklukkan puncak.”

“Gunung bukan objek wisata yang bisa ditinggalkan begitu saja. Ia adalah kawan lama yang perlu dihormati.”

Pendaki dulu kerap berangkat dengan pengetahuan dasar survival dan etika lingkungan. Nilai “jangan tinggalkan apapun kecuali jejak, jangan bunuh apapun kecuali waktu” benar-benar dijunjung tinggi. Mereka sadar bahwa sampah plastik tidak hanya mengganggu keindahan, tetapi juga dapat mencemari ekosistem hutan dalam jangka panjang.

Munculnya media sosial dan tren traveling masal menjadikan pendakian gunung semakin populer. jumlah kunjungan ke gunung-gunung saat ini semakin kian populer bahkan terus semakin meningkat tiap tahunnya. Sayangnya, peningkatan ini tidak selalu diiringi dengan kesadaran lingkungan yang memadai.

Banyak pendaki datang hanya untuk berfoto atau konten, dengan peralatan lengkap namun minim edukasi. Sampah makanan instan, botol plastik, hingga coretan vandalistik sering ditemukan di jalur-jalur pendakian. Salah satu petugas Balai Taman Nasional pernah menyebut bahwa setelah musim pendakian panjang, satu tim bisa mengangkut hingga ratusan kilogram sampah dari jalur gunung dalam sekali operasi.

Namun, tidak semua pendaki muda abai. Masih ada komunitas pecinta alam dan pegiat konservasi yang masih aktif menyuarakan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan, yang rutin melakukan edukasi dan pembersihan jalur pendakian.

Era digital sebenarnya membuka peluang besar untuk menyebarluaskan edukasi lingkungan. Konten yang mengangkat pentingnya menjaga alam, teknik pendakian ramah lingkungan, hingga dokumentasi dampak buruk pendakian massal bisa menjadi alat yang kuat. Bahkan aplikasi seperti eTrack dan iNaturalist kini digunakan untuk membantu pelaporan kondisi jalur serta keanekaragaman hayati di sekitar gunung.

Pendaki adalah orang-orang yang pernah mengalami langsung keindahan alam liar. Maka, merekalah yang semestinya menjadi penjaga terdepan dalam pelestarian.

Gunung bukanlah sekadar tujuan rekreasi. Ia adalah ruang hidup bagi ekosistem, sumber air, serta tempat pelarian jiwa yang lelah. Pendaki generasi terdahulu telah memberi teladan dalam menghargai dan menjaga gunung. Kini, tugas kita adalah melanjutkan warisan itu dengan semangat baru dan cara-cara yang relevan di era modern.

Melestarikan alam bukan tugas satu-dua orang, melainkan tanggung jawab bersama. Sebab, seperti pepatah bijak mengatakan:

“Kita tidak mewarisi bumi dari nenek moyang kita, kita meminjamnya dari anak cucu.”

Maka, penting untuk kembali memaknai pendakian. Apakah kita hanya ingin “mencapai puncak” atau benar-benar belajar untuk rendah hati di hadapan alam? Pendaki zaman dulu mungkin tidak punya kamera HD atau media sosial, tapi mereka punya prinsip: tidak merusak apa yang tak bisa mereka ciptakan.

Sebagaimana pepatah suku Indian berkata:

“Kita tidak mewarisi bumi dari nenek moyang kita. Kita meminjamnya dari anak cucu.”

Gunung bisa jadi tempat pelarian yang menenangkan. Namun yang terpenting, mari pastikan bahwa ia tetap ada untuk generasi berikutnya.