PenjuruNegeri.Com – Ketika menatap bentangan hijau hutan Jambi beberapa tahun lalu, rasanya seperti melihat paru-paru yang berdetak tenang untuk kehidupan. Namun hari ini, pemandangan itu perlahan memudar. Yang tersisa: tutupan lahan yang compang-camping, sawit-sawit yang merangsek masuk, dan asap tipis yang membayang di musim kemarau. Hutan Jambi sedang sakit, dan kita tidak bisa terus berpura-pura tak tahu.
Provinsi Jambi bukan sekadar titik hijau di peta Sumatra. Ia adalah rumah bagi masyarakat adat, habitat bagi satwa langka seperti harimau Sumatra, dan penyerap karbon alamiah yang berperan dalam menahan laju krisis iklim global. Namun, selama bertahun-tahun, hutan ini terus terkikis atas nama “pembangunan” dan lainya. Di balik ekspansi industri kehutanan dan perkebunan, terselip luka: konflik agraria, kekeringan, banjir bandang, dan hilangnya sumber hidup masyarakat lokal.
Di tengah situasi itu, lahirlah Peraturan Presiden Nomor 5 terbaru Tahun 2025, yang mengatur tentang Penertiban Kawasan Hutan. padahal jelas, Perpres ini bertujuan untuk mengatasi persoalan tata kelola hutan yang belum optimal, termasuk aktivitas ilegal. Peraturan Presiden ini juga mengatur beberapa hal terkait penertiban kawasan hutan, antara lain: Penertiban kegiatan di luar kehutanan:Pembentukan Satuan Tugas:Mekanisme Penertiban:
Padahal, Banyak pihak pihak menyambutnya dengan optimisme dengan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 ini. Tapi, bisakah peraturan ini benar-benar mengubah wajah kerusakan hutan di Jambi?
Jawabannya tidak sesederhana ya atau tidak. Perpres ini jelas memiliki potensi besar. Ia membuka ruang partisipasi masyarakat, memberi dasar hukum untuk insentif menjaga hutan, dan memperkuat tata kelola kehutanan. Jika diterapkan sungguh-sungguh, Jambi bisa menjadi contoh keberhasilan konservasi berbasis komunitas.
Namun sejarah mengajarkan kita untuk waspada. Terlalu sering, kebijakan lingkungan di Indonesia berhenti di meja rapat, tanpa pengaruh nyata di lapangan. Terlalu banyak proyek “hijau” yang ternyata hanya kosmetik: menghitung pohon, bukan melindungi ekosistem; meresmikan program, bukan memberdayakan masyarakat.
Maka publikpun mengajukan beberapa pertanyaan kritis: Apakah pemerintah daerah Jambi siap mengawal implementasi Perpres ini secara transparan? Apakah masyarakat adat diberi peran nyata, atau hanya sebagai simbol partisipasi? Apakah pelaku usaha besar juga diminta bertanggung jawab, atau justru dilindungi demi investasi?
Opini ini bukan ajakan untuk pesimis. Justru sebaliknya: ini seruan untuk bangkit dan terlibat. Kita tidak bisa menyerahkan masa depan hutan Jambi hanya pada regulasi. Kita perlu gerakan sipil yang kuat, media yang kritis, dan warga yang peduli. Kita perlu bertanya, mengawal, dan menagih janji.
Hutan Jambi tidak butuh belas kasihan, tapi butuh keadilan. Dan keadilan ekologis hanya mungkin lahir jika kita berani menyatukan suara, dari desa ke kota, dari akar rumput hingga pengambil kebijakan.
Kalau Perpres Nomor 5 hanya jadi dokumen tanpa aksi, maka ia tak lebih dari lembaran kertas yang ikut terbakar bersama hutan-hutan kita.

Tinggalkan Balasan