PenjuruNegeri.Com – Dalam beberapa bulan terakhir, kebijakan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk memblokir rekening bank yang tidak aktif (dormant) menimbulkan kegaduhan nasional. Dengan dalih mencegah penyalahgunaan rekening oleh pelaku tindak pidana seperti judi online dan pencucian uang, PPATK bekerja sama dengan perbankan untuk menghentikan sementara akses terhadap rekening yang tidak memiliki aktivitas selama 3–12 bulan, tergantung ketentuan masing-masing bank.

Namun, yang terjadi di lapangan justru berbeda. Ribuan masyarakat merasa dirugikan, kehilangan akses ke tabungan mereka tanpa pemberitahuan, bahkan ketika mereka sangat membutuhkan dana untuk keperluan mendesak seperti pendidikan atau pengobatan.

Viral di media sosial seorang warga yang gagal menarik tabungannya sebesar Rp28 juta dari ATM. Mesin menolak transaksi dan menyatakan saldo tidak mencukupi, padahal dana tersebut akan digunakan untuk biaya operasi. Bukan kasus tunggal, ratusan keluhan senada membanjiri media daring. Masyarakat mendadak kehilan kendali atas uangnya sendiri.

Seorang warga lainnya mengeluhkan bahwa rekeningnya yang selama ini ia gunakan untuk menabung pendidikan anak justru diblokir hanya karena jarang digunakan. Ia tidak pernah membayangkan bahwa menyimpan uang tanpa aktivitas justru akan dianggap mencurigakan.

Reaksi pun bermunculan. Banyak yang mempertanyakan dasar hukum pemblokiran. Tidak sedikit pula yang mulai mencurigai ada tujuan tersembunyi di balik kebijakan ini.

Munculnya rasa tidak aman atas simpanan pribadi di bank memunculkan ketidak percayaan baru di masyarakat. Banyak yang khawatir menyimpan uang di bank bukan lagi keputusan aman. Bahkan sebagian mulai menarik seluruh dana mereka untuk disimpan secara fisik di rumah.

“Kalau uang saya bisa diblokir tanpa peringatan, lalu untuk apa saya menabung di bank?” ujar seorang netizen dalam forum daring.

Kebijakan yang dimaksudkan untuk melindungi sistem keuangan justru menggerus kepercayaan publik terhadap institusi keuangan. Bank dinilai hanya menjadi “tangan kanan” regulator tanpa membela nasabahnya. Pemerintah pun dituding membuat kebijakan tanpa mempertimbangkan dampak sosial.

Masalah lain yang memperparah situasi adalah minimnya sosialisasi. Banyak warga mengaku tidak menerima pemberitahuan bahwa rekening mereka akan diblokir. Begitu ingin menggunakan dana, barulah mereka menyadari akses sudah terputus.

Prosedur reaktivasi pun tak semudah yang dijanjikan. Nasabah diminta datang ke cabang dengan membawa dokumen tertentu, menunggu proses verifikasi yang bisa memakan waktu berminggu-minggu. Ini tentu menyulitkan, apalagi jika kebutuhan dana bersifat mendesak.

Kebijakan ini juga menuai kritik dari Komisi XI DPR RI yang membidangi keuangan. Anggota legislatif menyatakan bahwa tindakan PPATK dan perbankan terkesan sepihak dan kurang komunikatif. Pengamat kebijakan publik menyebut bahwa kebijakan ini sangat mungkin justru mendorong masyarakat kembali pada sistem keuangan informal yang jauh lebih rentan.

Tidak ada yang menyangkal pentingnya mencegah kejahatan finansial. Namun melibatkan masyarakat kecil dalam tindakan kolektif tanpa proses seleksi yang matang justru merusak kepercayaan terhadap sistem yang dibangun selama puluhan tahun.

Ketika akses terhadap uang pribadi bisa dihentikan secara sepihak dan tanpa peringatan, publik berhak merasa resah dan mempertanyakan kembali: siapa sebenarnya yang dilindungi oleh kebijakan ini?

Jika tidak segera diperbaiki melalui dialog terbuka, transparansi, dan perlindungan hak nasabah, bukan tidak mungkin sistem perbankan kita akan menghadapi krisis kepercayaan yang lebih luas.