Masalah lain yang memperparah situasi adalah minimnya sosialisasi. Banyak warga mengaku tidak menerima pemberitahuan bahwa rekening mereka akan diblokir. Begitu ingin menggunakan dana, barulah mereka menyadari akses sudah terputus.

Prosedur reaktivasi pun tak semudah yang dijanjikan. Nasabah diminta datang ke cabang dengan membawa dokumen tertentu, menunggu proses verifikasi yang bisa memakan waktu berminggu-minggu. Ini tentu menyulitkan, apalagi jika kebutuhan dana bersifat mendesak.

Kebijakan ini juga menuai kritik dari Komisi XI DPR RI yang membidangi keuangan. Anggota legislatif menyatakan bahwa tindakan PPATK dan perbankan terkesan sepihak dan kurang komunikatif. Pengamat kebijakan publik menyebut bahwa kebijakan ini sangat mungkin justru mendorong masyarakat kembali pada sistem keuangan informal yang jauh lebih rentan.

Tidak ada yang menyangkal pentingnya mencegah kejahatan finansial. Namun melibatkan masyarakat kecil dalam tindakan kolektif tanpa proses seleksi yang matang justru merusak kepercayaan terhadap sistem yang dibangun selama puluhan tahun.

Ketika akses terhadap uang pribadi bisa dihentikan secara sepihak dan tanpa peringatan, publik berhak merasa resah dan mempertanyakan kembali: siapa sebenarnya yang dilindungi oleh kebijakan ini?

Jika tidak segera diperbaiki melalui dialog terbuka, transparansi, dan perlindungan hak nasabah, bukan tidak mungkin sistem perbankan kita akan menghadapi krisis kepercayaan yang lebih luas.